Kamis, 13 Oktober 2011

HAKIKAT MENGAJAR



A.      Tinjauan Historis
Sejak dahulu kala di kalangan ahli-ahli filsafat Yunani kuno, sistem pendidikan Yunani pada masa itu telah mulai disoroti terutama di tujukan pada penggunaan disiplin yang sangat keras di sekolah-sekolah yang terlalu ketat dan kaku, pengajaran yang telah didasarkan pada pemikiran, tetapi pada tingkat fakta-fakta. Sebagai alternative, mereka menyarankan agar orang menghormati dan memandang seseorang sebagai suatu keseluruhan yang utuh, seperti halnya dengan konsep dalam GBHN : manusia seutuhnya. Mereka menyarankan agar menggunakan kurikulum yang relevan, serta perhatian lebih banyak ditujukan pada kebutuhan dan minat anak-anak.
Apa yang dianggap baru dalam sistem pendidikan adakalanya tidaklah baru sama sekali. Sistem pendidikan yang dianggap modern sekarang, kalau ditelusuri dalam sejarah tampak bahwa prinsip-prinsip yang biasa dibanggakan itu sering telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh pendidik jauh sebelumnya. Survey sejarah yang singkat menunjukkan bahwa lima abad sebelum Masehi, Socrates (470-399 S.M) telah mengemukakan konsep pendekatan penyelidikan (inquiry approach) dan pendekatan penemuan (discovery approach). Ia telah menggunakan suatu prosedur pertanyaan lisan dan pemikiran dialektis  yang digunakan oleh Socrates telah menjadi dasar teknik pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seorang siswa untuk berfikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya.
Plato (472-347 S.M), seorang murid Socrates, dalam bukunya Republica telah menyatakan : hindarkanlah paksaan dalam pendidikan dan antarlah pelajaran anak-anak itu ke dalam bentuk permainan. Pengetahuan tak dapat ditanamkan secara mekanik; belajar harus didasarkan pada keinginan anak itu sendiri untuk belajar. Tujuan pendidikan menurut Plato adalah untuk menemukan kemampuan alamiah setiap individu dan melatihnya sehingga ia menjadi warga negara yang baik dalam masyarakat yang harmonis untuk melaksanakan tugasnya secara efisien.
Aliran Humanisme, Empirisme, Reformasi dan Kaum Jezuit sama sekali tidak puas dengan sistem pendidikan lama, untuk itu mereka mulai mencari jalan lain yakni dengan meragakan bahan pelajaran. Mereka memperkennalkan pelajaran  dengan mewujudkan benda-benda yang dapat diajarkan pada anak-anak. Mereka yakin bahwa dengan cara demikian anak-anak akan lebih aktif dan akan menimbulkan dorongan pada diri mereka untuk memperoleh pengetahuan. Pandangan lama HAFAL atau INGAT = PINTAR, harus ditinggalkan.
Francois Rabelais (1483-1553) mengecam kurikulum yang tidak relevan ketika itu dan menganjurkan kebebasan pribadi bagi siswa-siswa. Michaele de Montaigne (1533-1592) mengecam kekerasan dan metode-metode yang suka menonjolkan sifat keilmuan (pedantic methods) pendidikan Prancis. Ia menganjurkan pengajaran individual, belajar dengan praktek dan bermain.
Johan Amos Comenius (1592-1670), seorang ahli pendidikan Cekoslovia, pada awal abad ke-17 telah mengeemukakan buah pikirannya dalam pengembangan sistem pendidikan modern. Di dalam bukunya “Didaktica Magma (didaktik besar)” dikemukakan beberapa petunjuk mengenai metode mengajar atau azas-azas didaktik. Ia menekankan betapa pentingnya pengalaman praktis dan integrasi mata-mata pelajaran. Ia juga mendesak agar pengajaran disesuaikan dengan anak, bukan sebaliknya, anak yang menyesuaikan diri dengan pengajaran. Comenius juga menganjurkan agar dicari penyajian pengajaran yang di dalamnya guru mengajar lebih sedikit dan murid belajar lebih banyak.
John Locke (1632-1704) seorang ahli pendidikan dan filsafat Inggris menganut teori empirisme, memandang anak sebagai kertas putih atau tabularasa, menekankan betapa perlunya pengalaman penginderaan (sensualism). Untuk itu, anak-anak harus di bawa keluar gedung sekolah terjun ke dalam lingkungan hidup sehari-hari untuk belajar.
Jean Jacques Rousseau (1712-1778) seorang tokoh terkemuka dari pendekatan Child Centered  yang mengemukakan pandangannya pada abad ke-18 dalam novelnya Emile, suatu esai mengenai pendidikan anak laki-laki. Ia menganjurkan agar anak-anak dibiarkan berkembang secara alamiah, bebas dari penekanan. Masa kanak-kanak bukanlah semata-mata sebagai langkah menuju kepada kedewasaan tetapi juga sebagai suatu langkah yang penting dari kehidupan.
Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827), seorang ahli pendidikan Swiss telah menyumbangkan buah pikirannya yang menjadi dasar teori-teori pendidikan modern sekitar abad ke-18 dan awal abad ke-19. Ia menekankan bahwa pengalaman sensoris anak merupakan dasar pengetahuan, dan menyarankan agar anak-anak bereksperimen dengan objek-objek nyata sebelum mereka dapat membentuk ide-ide abstrak. Pestalozzi percaya akan kemampuan anak-anak untuk belajar dari pengalaman sendiri, yang dinyatakan denggan life educates. Ia ingin mendidik orang sebanyak-banyaknya, untuk itu diciptakannya sistem pengajaran klasikal, seperti yang kita warisi sekarang.
Pada abad ke-18 dua tokoh pendidikan berbangsa Jerman, Johan Friedrich Herbart (1776-1841) & Friedrich Froebel (1782-1852) telah membantu meletakkan dasar-dasar pembaharuan pendidikan. Herbart adalah seorang filosof dan praktisioner yang menyusun rencana pengajaran secara sistematik. Berdasarkan teori tanggapan yang telah dikembangkannya, Herbart menyusun sistem pengajaran berdasarkan tanggapan-tanggapan yang telah diperoleh dari pengalaman. Sesuatu yang telah diamati akan membentuk tanggapan. Ia berpendepat bahwa segala kecakapan manusia ditentukan oleh jelas tidaknya yang terdapat dalam jiwa. Oleh sebab itu, setiap kesulitan harus dipecahkan dan disusun serapi-rapinya. Tugas guru adalah memberikan penjelasan atau informasi tiap hal yang dikemukakan. Herbart juga mengakui peranan kegiatan dan minat anak-anak sebagai faktor motivasi belajar. Ia memandang minat sebagai pembuka kemauan belajar yang penting. Menurut Herbart, tidak semua pengetahuan menimbulkan kemauan belajar. Oleh sebab itu, perlu ditimbulkan minat murid terlebih dahulu. Herbart telah menyusun langkah-langkah pemberian pelajaran yang disebut “tangga formal” atas bantuan seorang muridnya, Tuiskon Ziller, dengan susunan sebagai berikut :
1.       Analisis : dari tanggapan murid-murid ditimbulkan appersepsi yang ditujukan kepada suatu yang baru
2.       Sintesis : sesuatu itu diragakan dan diceriterakan, lalu diperdalam pengertian tentang hal itu
3.       Asosiasi : yang baru dihubungkan dengan yang lama, kemudian ditetapkan hal-hal yang umum serta pengertian-pengertiannya.
4.       Sistem : pengertian-pepngertian yang beraturan disatukan menjadi pengetahuan
5.       Metode : diberikan latihan tentang hal-hal yang baru agar dapat dipergunakan oleh murid-murid.
Froebel (1782-1852) seorang pendidik yang gagasannya banyak berpengaruh terhadap pendekatan progresif dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan harus diberikan sedini mungkin. Oleh sebab itu, ia membuka Sekolah Taman  Kanak-kanak yang pertama di dunia. Bagi Froebel tidak ada perbedaan antara bekerja dengan bermain. Ia memberikan arti istimewa dan nilai baru kepada permainan anak-anak. Froebel memandang permainan sebagai suatu saluran untuk mempekenalkan dunia kepada anak-anak. Dengan permainan, pendidik dapat memberikan bimbingan kepada peserta  didik tentang kehidupan yang sebenarnya. Permainan dapat memberikan perasaan bebas, dapat menimbulkan sifat tolong menolong, dan dapat memperkenalkan hubungan social antara sesame manusia di kalangan peserta didik.
Leo Tolstoy (1828-1910) seorang ahli pendidik bangsa Rusia yang hidup pada abad ke-19 mendasarkan pandangannya menurut pengalamannya sendiri dalam mengorganisasikan sekolah bagi budak-budak. Dalam konsep pendidikannya ia mendesak agar dipertimbangkan kebutuhan dan minat anak-anak dalam berlatih bertanggungjawab. Ia menyatakan bahwa sekolah seharusnya merupakan tempat yang menyenangkan.
Pada awal abad ke-20 banyak pendidikan merupakan ekspresi dari gerakan pendidikan progresif, yang banyak menyangkut nama seorang bangsa Amerika, yaitu John Dewey (1859-1952). Inti filsafat John Dewey harus dimulai dari masalah atau keheranan, yang menyebabkan orang terdorong untuk memecahkan masalah sebagai daya penggerak untuk belajar. Melalui interaksi dengan lingkungan, anak itu memecahkan keheranannya.
Menurut John Dewey, tujuan-tujuan itu hanya bermakna kalau diterima atau dialami. Ia menyatakan bahwa, “saya akan mempunyai anak yang tak mengatakan ‘saya tahu’ saya telah mengalami”. John Dewey menganut sistem belajar : belajar sambil mengerjakan (learning by doing), karena kebenaran terdapat dalam perbuatan (truth is in the making). Dari filsafat ini, mengalirlah kritikan terhadap metode yang lebih formal dari pendidikan yang tradisional, terhadap mengajar anak melalui ceramah, bagi mereka yang menekankan subjek yang akan mempersiapkan anak untuk “masa dating yang telah diperkirakan”, melebihi dari pada hal yang menarik minat anak itu sendiri. Menurut John Dewey, berpikir yang sebenarnya baru timbul jika kita berdiri di sebuah persimpangan jalan dan tidak tahu jalan mana yang harus kita ambil dan kita harus berbuat sesuatu dan hasilnya akan membuktikan apakah tindakan kita itu tapat atau tidak. Sebelum kita mengambil keputusan, ada langkah-langkah yang dilalui :
1.       Kita menghadapi suatu kesulitan, kita ragu-ragu; untuk sementara kita tidak tahu apa  yang akan dilakukan
2.       Berdasarkan pengalaman, kita teringat akan berbagai kemungkinan untuk memecahkan kesulitan itu
3.       Kita mencoba melaksanakan satu atau lebih dari kemungkinan itu
4.       Hasilnya menunjukkan kemungkinan-kemungkinan mana yang paling efektif
Di samping John Dewey ada banyak pendidik lain yang berhubungan dengan gerakan progresif. Di antara mereka itu ialah Francis Farker, yang lebih dahulu dari John Dewey; Junius Merriam, yang telah mengorganisasikan sekolah laboratorium progresif yang berpengaruh di Universitas Missouri; terutama William Heard Kilpatrick, yang telah merancang metode proyek.
Banyak tokoh pendidik abad ke-20 yang telah memberikan sumbangan terhadap konsep pendidikan modern. Mereka itu adalah yang mengusulkan psikologi untuk membantu menjelaskan perkembangan emosional dan intelektual anak-anak dan ahli-ahli sosiologi yang memandang sekolah sebagai suatu lingkungan sosioal.
Maria Montessori (1896-1952), seorang dokter Italia menggunakan masa peka dan kebebasan sebagai prinsip dalam konsep pendidikannya. Anak-anak harus bebas memilih kegiatan-kegiatan dari sejumlah tugas - tugas khusus. Menurut Montessori, ada tiga prinsip dasar, yaitu :
1.       Pekerjaan sekolah harus disesuaikan individu anak
2.       Setiap anak harus dapat mengembangkan diri sendiri dengan bebas
3.       Alat indera anak perlu dikembangkan

Helen Parkhurst, seorang guru wanita Amerika, lahir pada tahun 1887, dalam bukunya “Pendidikan Menurut Rancangan Dalton” yang diterbitkan pada 1922 antara lain mengemukakan :
1.       Pengajaran harus disesuaikan dengan sifat individu dan harus diadakan perbedaan
2.       Hubungan kelas harus lebih longgar, tetapi tidak boleh dihilangkan
3.       Kerja sendiri harus ditingkatkan
4.       Tiap-tiap anak harus melakukan tugas yang dinyatakan dengan jelas
5.       Tugas guru lebih bersifat menunjukkan daripada mengajar.

George Kerschensteiner (1854-1932) sebagai peletak dasar Sekolah Kerja mengemukakan bahwa Sekolah Kerja itu adalah sekolah yang menganggap pembentukan watak sebagai tugas utamanya. Watak adalah keadaan jiwa yang tetap, tempat tiap-tiap keinginan ditentukan oleh asas atau prinsip yang selalu ada. Watak terbagi atas dua : watak biologis dan watak intelligible. Watak biologis bertalian dengan kejasmanian, keadaannya tak dapat dididik; watak intelligible bertalian dengan intelegensi, keadaannya dapat dididik. Selanjutnya  Kerschensteiner membagi watak intelligible atas empat unsure.
1.       Kemauan, adalah keinginan atau hasrat terhadap sesuatu yang disadari, dengan pikiran, bahwa keinginan atau hasrat itu pasti akan tercapai dengan bekerja. Kemauan ada dua macam :
a.       Kemauan pasif, yang mengajar kita sabar dan tabah
b.      Kemauan aktif, yang memberi kita keberanian, semangat berusaha, inisiatif, perhatian yang tertentu.
2.       Kejernihan keputusan
3.       Kehalusan perasaan
4.       Aufwuhlbarkeit, yang dapat diartikan dengan keharuan, atau tingkat, luas dalamnya jiwa kita dikuasai pengamatan dan tanggapan.
Dalam kaitannya dengan watak intelligible, sekolah kerja dapat digunakan untuk mengembangkan watak, yaitu :
1.       Memperkuat kemauan;
2.       Menjernihkan keputusan;
3.       Menambah kehalusan perasaan;
4.       Meningkatkan Aufwuhlbarkeit.

Ahli psikologi Amerika Serikat Jerome Bruner mengarahkan perhatiannya pada pendidikan dan aktif dalam gerakan pembaharuan kurikulum pada tahun 1960-an. Ia menekankan betapa pentingnya keterlibatan anak dalam belajar mereka sendiri, mengakui kegairahan sebagai suatu kegiatan yang mendorong, dan mendesak agar digunakan pendekatan penemuan (discovery approach). Bruner menyatakan bahwa anak harus dipandang bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek; bukan sebagai penonton, tetapi sebagai peserta.
Carl Rogers adalah ahli Psikologi yang banyak sumbangan pikirannya terhadap pengembangan sistem pendidikan modern. Di antara lain menyatakan bahwa kualitas hubungan antara guru dan anak-anak beserta lingkungan kelas merupakan ramuan-ramuan yang menentukan dalam pendidikan. Rogers menyesalkan adanya kurikulum yang terikat. Ia menuntut supaya masing-masing kurikulum merupakan “pilihan anak sendiri”. Menurut Rogers, apa yang dapat diajarkan kepada orang lain adalah sedikit dampaknya. Pengetahuan yang diperoleh dengan usaha sendiri adalah lebih berarti.
Dari studi sejarah ini kita memperoleh gambaran bahwa mengajar dan belajar bukan persoalan sekarang, tetapi persoalan yang telah ada sejak dahulu kala. Ia menunjukkan bahwa perhatian orang terhadap mengajar dan belajar begitu besar.

B.      Pengertian Mengajar
Dalam bahasa Inggris ada kata teaching dan ada kata instruction, yang selama ini diartikan “mengajar” sebagai kata kerja dan “pengajaran” sebagai kata benda. Namun akhir-akhir ini ada kecenderungan orang mengartikan kata “teaching”  dengan “pembelajaran”, sedangkan “instruction”  atau instructional ada kalanya diartikan dengan “pengajaran” dan ada kalanya dengan “intruksional”. Hal ini dapat dilihat pada tujuan proses belajar-mengajar. Kita kenal apa yang disebut “Tujuan Instruksional Umum” (TIU) dengan pasangan “Tujuan Instruksional khusus” (TIK), sementara itu berkembang pula apa yang disebut “Tujuan Umum Pembelajaran” (TUP) dengan pasangan “Tujuan Khusus Pembelajaran” (TKP). Dalam pemberian nama bidang studi, juga terdapat kesimpangsiuran penggunaan kata “mengajar”, “pembelajaran” dan “instruksional”. Dalam kurikulum ada bidang studi “Proses Belajar Mengajar”, (PBM), bidang studi “Disain Instruksional”, bidang studi “Perencanaan Pengajaran”.
Untuk mengurangi kesimpangsiuran dalam penggunaan kata mengajar, pembelajaran dan instruksional, dalam tulisan ini kata teaching akan diartikan sebagai “mengajar” sebagai kata kerja dan “pengajaran” sebagai kata benda, sedangkan “instruksional”, mungkin pula dengan “pembelajaran”, tergantung pada konteksnya.
Mengajar adalah suatu hal yang sifatnya dinamis dan sangat erat hubungannya dengan manusia yang selalu berubah-ubah, sehingga penyelesaian yang sempurna tidak akan tercapai. Pengajaran memiliki makna, tujuan dan rencana. Ahli-ahli pengajaran berusaha merumuskan pengertian mengajar, tetapi sebagaimana pengetahuan-pengetahuan lainnya, mengajar juga mempunyai rumusan yang berbeda-beda. Jadi dapat disimpulkan bahwa “Mengajar ialah apa yang dikerjakan oleh guru”. Tetapi pengertian ini belum memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang dikerjakan oleh guru itu.
William C. Morse & G. Max Wingo (1962) mengemukakan tiga macam defenisi mengajar, yaitu  defenisi tradisional, defenisi menurut kamus, dan defenisi mutakhir. Secara tradisional mengajar diartikan sebagai Proses memberikan kepada pelajar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menguasai mata-mata pelajaran yang telah ditentukan. Menurut defenisi ini keberhasilan guru mengajar dan murid belajar diukur dari segi kemampuan murid-murid menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan mata pelajaran yang telah diberikan.
Defenisi kamus lebih maju sedikit dari pada pengertian tradisional. Dalam defenisi ini, mengajar diartikan sebagai “menunjukkan bagaimana mengerjakan; menjadikan mengerti; member instruksi kepada”. Sekalipun sudah agak jelas; namun dalam defenisi ini belum dikemukakan mengenai apa, bagaimana dan mengapa dari mengajar itu.
Defenisi mutakhir merumuskan mengajar sebagai sistem kegiatan untuk membimbing atau merangsang belajar anak mengerti dan membimbing anak sebagai individu dan sebagai kelompok dengan maksud terpenuhinya kelengkapan pengalaman belajar yang memungkinkan setiap anak dapat berkembang terus secara teratur mencapai kedewasaannya.
Ahli-ahli psikologi pendidikan modern pemikirannya tidak terurama ditujukan pada apa yang diajarkan, tetapi kepada bagaimana mengatur situasi yang dapt menggairahkan belajar, menyusun bahan pelajaran sehingga mudah dipelajari, cara menyampaikan pelajaran yang efektif dan menarik sehingga menimbulkan motivasi belajar yang memungkinkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, dapat dipahami kalau defenisi mengajar selalu dikaitkan dengan belajar.
Mashuri (1970), selaku menteri pendidikan dan kebudayaan mendefenisikan mengajar dengan pemberian stimulus atau rangsangan untuk belajar. Hartwig Schroder (1976) mengartikan mengajar sebagai prosedur mewariskan pengalaman dengan tujuan menyebabkan belajar berlangsung, David M. Johnson & Roger T. Johnson (1975) mengartikan mengajar dengan : proses pengaturan situasi belajar sedemikian rupa sehingga belajar siswa itu lancar.
Belajar biasanya berlangsung tanpa disadari atau disengaja sebagai perubahan perilaku, tetapi proses mengajar, sebagaimana lazimnya, disadari dan disengaja untuk menjadikan belajar itu efektif. Karakteristik mengajar yang penting adalah :
1.       Perbuatan yang bertujuan;
2.       Berorientasi pada belajar.

Telah dikemukakan bahwa selain ada kata “mengajar” ada pula kata “Instruksional” yang dapat diartikan dengan “pengajaran yang direncanakan”. Mengajar selalu dihubungkan dengan tujuan,tetpi hal ini dapat juga berlangsung tanpa sistematik, tanpa rencana, dengan menggunakan cara apa adanya. Lain halnya dengan Instruksional, yang dapat diartikan dengan program pengaturan situasi belajar sedemikian rupa sehingga belajar siswa dapat berlangsung dengan mudah. Instruksional adalah pengajaran yang diorganisasikan. Sebagai pengajaran yang diorganisasikan, instruksional bukan ditentukan secara kebetulan, melainkan dengan prosedur yang direncanakan. Lazimnya instruksional berlangsung dalam lembaga pendidikan sekolah dalam arti luas. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, karena di sekolah terlaksana serangkaian kegiatan terencana dan terorganisasikan, termasuk kegiatan dalam rangka proses mengajar-belajar di dalam kelas.
Dari segi wawasan struktural, setiap bentuk instruksional ditentukan oleh tujuan yang telah disusun dan direncanakan, oleh isi (materi pelajaran) yang disampaikan untuk mencapai tujuan, dan dengan metode yang digunakan untuk maksud tersebut. Dengan demikian, karakteristik instruksional meliputi penyusunan tujuan, isi dan metode, yang akan diuraikan tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar